Berhenti menjadi sepasang



Nguing... nguing... nguing...

Suara berisik kumpulan nyamuk membangungkanku malam tadi. Ini jam berapa pikirku, sambil meraih gawai yang tadi malam ku letakan di sebelah kasur. Ah... Jam 2 ternyata. Aku berusaha tidur kembali. Berguling menyamping, mengganti posisi, minum segelas air putih nyatanya otakku tak mau selaras dengan keinginan. Aku kembali mengambil gawai mengecek beberapa pesan, ahh ternyata pesanku belum di balas. Menjadi biasa itu sepertinya sulit. Ingin segera tertidur aku pun membaca beberapa komik yang baru update di situs Ciayo.com dan masih juga otak ini belum mau di istirahatkan. Ada rasa yang aneh ternyata. Sepi. Saya sendiri sekarang.

19 juli 2019  akhirnya kami memutuskan untuk saling berjalan masing-masing. Atau lebih tepatnya aku yang bertanya tentang pertanyaan konyol padanya “Bolehkan saya menerima orang lain?”  tanyaku. Iapun menjawab “boleh”. Jadi kami memutuskan untuk tidak saling terikat satu sama lain.

Berbicara tentang alasan kenapa mengutarakan pertanyaan konyol itu. Saya akan bercerita tentang peristiwa satu minggu lalu. Tepat  12 juli, dia ulang tahun, sayangnya saya lupa kalau hari itu dia ulang tahun. Saya sedikit repot waktu itu. Pekerjaan lumayan menumpuk lantaran saya harus pulang 3 hari sebelumnya. Esoknya saya memberi ucapan selamat dan menanyakan tentang doa apa di tahun ini. Saya kira jawabanya akan sederhana, misalkan ingin menjadi lebih baik dari taun sebelumnya atau menjadi lebih dewasa atau  mungkin jawaban umum lainnya. Saya salah, ia menjawab tidak tahu. Sedikit gereget sayapun memaksanya mengutarakan salah satu keinginannya. Iapun menjawab membawa ibunya tinggal bersama ke tempat ia bekerja sekarang. Menurutnya keputusan itu tidak menghitung saya dalam variabelnya.  Hanya dia dan ibunya.

Ada rasa kecewa yang teramat atas jawaban itu ternyata. setelah beberapa tahun berjalan, saya masih berada jauh. Sangat jauh. Saya merasa sangat depresi degan diri saya sendiri. Menjadi sepasang itu ternyata melelahkan juga  merasa menjadi bagian keluarga padahal tidak pernah mengurusnya. Merasa harus ikut andil dalam hidupnya padahal bukan bukan siapa-siapa. Merasa harus di penuhi harapannya padahal bukan kewajibannya.

Dalam beberapa keputusan yang saya buat, sering kali menjadikannya variable dalam pilihan saya dengan harapan diapun melakukan hal yang demikian. Menurutku itu pembuktian jika saya menyukainya maka saya melibatkan dia dalam hidup saya.  Saya biasa tersenyum dengan keadaan apapun, tidak biasa marah padanya. Hanya membiarkan semua berjalan apa adanya dengan kalimat “ya sudah”. Saya terbiasa berdamai sejak dulu, dan jika tidak bisa memilih menghindar atau pergi.
Kata teman saya manusia itu sungguh unik. Kata berharap bisa menjadi pekerjaan yang amat sangat melelahkan padahal kita tidak melakukan apapun.

Ada rasa menyesal. Kenapa saya tidak bisa mengungkapkan apa yang saya rasakan padanya. Mungkin saya takut mendapat jawaban yang lebih menyakitkan atau saya takut menyakitinya saya juga tidak tau. Saya pernah mencoba dan hasilnya malah saya menangis. Saya tidak tau kenapa. Saya menyukai nya tapi saya menjadi depresi karena berharap berlebihan dan hari ini saya menyerah.

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman KRS an yang pertama

30 Menit Sesi Akhir

Memasukkan Gambar Pada Eclipse