CERITA DI KEBUN TEH



CERITA DI KEBUN TEH
Terima kasih untuk kalian trio n  Neni, Eni, Weni atas tas cantik berwarna abu-abu itu. Terima kasih juga untuk kue coklatnya. Buat mas yang inisialnya F terima kasih saya haturkan, karena sudah muter-muter nyari kuenya. O iya hampir lupa, makasih untuk kue kecil warna warninya juga, aku amat menyukainya. Roti Lapis warna warni dengan hiasan krim bagian yang manis banget ditambah ada buah cerinya juga hihihi. Yammmiii, arigato senpai.
29 april 2017  kali ini umurku telah berkurang 22 tahun dari jatah umur yang telah diberikan Tuhan. Andai kala itu Tuhan memberiku jatah umur 60 tahun, aku akan mempunyai sisa umur 38 tahun. Dan jika Tuhan menuliskan dalam kitab hidupku bukan 60 melainkan 40 tahun maka sisa umurku hanya 18 tahun. Ataupun, jika Tuhan sedang baik dan menuliskan umurku hanya 23 tahun maka hanya hitungan hari saja dan aku akan kembali padanNya.
Dan di tanggal itu juga kami membuat satu lagi keseruan dalam pertemanan sederhana ini. Tanpa rencana kami tiba-tiba memutuskan untuk pergi Ke kebun teh. Sebuah pertanian teh milik BUMN yang terletak di kawasan Lawang Malang.  Sebenarnya kami sepakat untuk ke kebun teh di hari selasa, tapi sepertinya ada yang tidak bisa di hari itu. Atau bisa dibilang aku yang gak bisa, akhirnya kami memajukan hari yang awalnya hari selasa menjadi hari sabtu.
Berangkat pukul 10.30, kami bersama-sama mengendari sepeda motor. aku bersama Neni berboncengan dengan sepeda Supra hasil pinjamanan salah satu rekan kuliah kami Rizal namanya, terima kasih banyak Rizal. Sedangkan Eni dan Weni menggunakan Vario hasil merengek ke Dian, makasih banyak Dian. Hehehehe
Ada kejadian lucu plus menarik di perjalan kami menuju kebun teh. Peristiwa itu terjadi di kawasan Arjosari. Waktu itu volume kendaraan cukup padat,  dari kejauhan terdengar bunyi sirene mobile polisi yang sengaja di bunyikan “tiu tiu tiu”. Sepontan pengendara jalan membukakan  jalan untuk mobile hitam tersebut. Namun ada pemandangan yang nyeleneh, sebuah sepeda motor metic bermerek vario tetap saja berada di tengah jalan. Dan perlu kalian tau itu adalah Eni tetap saja berlenggang di tengah jalan. Seorang polisi pun bergumam dalam bahasa jawa dari dalam mobilnya.
 “Ngunukui yo minggir to mbak mbak “.
Tak lama setelah ujaran polisi tersebut, sepeda motor Eni pun merangsek minggir dan kembali melanjutkan perjalanan. Selepas kejadian itu, kami berhenti untuk mengisi bensin tak jauh dari tempat kawasan Arjosari. Eni nampak shock plus panik, ditambah wajah yang melas membuat kami tak menyianyiakan momen berharga untuk melancarkan aksi.
“Minggir mbak minggir....” , “Piye rasane di sapa pak polisi En ” ujarku dengan nada mengejek ditambah cengegesan.
 “Aku gak tau, kalau ada bunyi gitu harus minggir”  Ujar Eni dengan memelas sepertinya ia juga lapar.
“Ayo makan bakso matahari” Eni melanjutkan.
Kami pun melanjutkan perjalanan ke sebuah warung bakso namanya bakso matahari yang bertempat di kawasan Singosari. Sesampainya di sana bukan bakso yang kami dapatkan tapi gupalan daging berukuran melebihi bola kasti. Kami pun bersepakat hanya memesan 2 porsi saja. Jika kurang kan bisa tambah lagi. Tak kurang dari 15 menit 2 mangkuk kuah plus petol telah terhidang, beserta 2 mangkuk kuah tambahan yang memang sengaja kami minta pada pramusaji saat memesannya tadi.
Sendok kami pun mulai menjelajah membelah campuran daging tersebut. Memasukan seculih demi secuil ke dalam mulut. Belum, sampai pentol itu habis aku sudah berasa teramat kenyang. Tak baik rasanya membuang makanan, perut yang penuh aku tetap juga menghabiskan irisan terakhir bakso.
Kembali ada kejadian takterduga menimpa kami. Ban sepeda motor salah satu dari kamu bocor.
“Ahhh sungguh pilu bukan?”
Tak lebih dari satu jam menunggu, ban sepeda telah siap dikendarai kembali. Kamipun melanjutkan perjalan ke kebun teh. Ternyata, jalur yang kami lewati aku hafal, terletak tak jauh dari vila Ketindan di belakang pasar  lawang tempat ayahku dulu menginap. Hihihihi. Setibanya di tempat wisata kebun teh kami di sambut oleh Padang hijau teh yang teramat luas. Setiap mata menandang hanya ada teh dan teh, hanya sesekali saja ada ibu-ibu berjalan membawa kayu yang ia gendong. 
Awalnya saat tiba, ada kata lesu yang menempel di wajah Weni. Mungkin karena ia kecewa dengan kuda yang di idamkannya ternyata tidak ada. Awalnya weni ingin menaiki kuda layaknya seorang princess dalam dunia cinderela, sayang ia terlalu takut untuk berdekatan dengan deeratan kuda hitam itu. Kuda yang sedari pagi sudah berjejer rapi, siap untuk di tunggangi wisatawan. Alhasil si princess satu itu tak jadi mewujudkan keinginannya.
Pemandangan di kebun teh pun tak ada yang spesial disana hanya ada hamparan tanaman teh yang entah ujungnya mana. Karena setiap mataku memandang entah itu arah barat maupun timur, utara ataupun selatan berakhir dengan teh juga. Akhirnya aku berinisiatif untuk mengambil pose layaknya kijang yang meloncat dengan ketinggian yang tak seberapa. Kamu tahu kan salah satu dari kami ada adek kecil, aku takut adek udah loncat tinggi-tinggi disangka masih berdiri. Hasil fotonya cukup ciamik untuk membuat senyum dan berakhir dengan derai tawa di antara kami berempat. Bukan karena kami terlihat cantik, tapi sebaliknya. Ehehhe silahkan ditafsirkan sendiri saja
Selepas berkeliling mencari spot foto yang keren kami pun menyerah. Sepertinya kaki mungil kami telah tidak kuat lagi untuk berjalan. Kami pun memutuskan pulang, namun sebelumnya kami membeli beberapa oleh-oleh di pasar Lawang. Beberapa jajanan pasar dan 1 kg ubi kami angkut pulang.[]

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman KRS an yang pertama

Memasukkan Gambar Pada Eclipse

Tutorial Menjadi Orang Tua Bijak