Cerita 3 Orang Devisi PSDM



Ini hari minggu, hari libur untuk satuan hari dalam masehi. Seperti biasa minggu selalu penuh dengan kemalasan yang luar biasa. Namun, untuk kali ini aku mempunyai agenda berbeda bersama dengan rekan-rekan satu devisi PSDM. Aku bersama siro dan salis berniat mengunjungi car free day di kawasan Ijen Malang dengan menggunakan sepeda. Kendaraan transportasi yang tercipta di tahun 1790an.
Kami berencana berangkat sebelum pukul 7 pagi, karena khawatir sengatan matari terlampau panas. Sayang tak ada satupun dari kami yang bisa bangun di bawah jam 6 pagi. Alhasil jam yang tadinya telah di tetapkan bertambah satu digit lagi. Sekitar pukul 8 kami berangkat menggunakan 3 sepeda. Itupun setelah perdebatan panjang sepeda mana yang akan di gunakan.
Dengan aku yang mengalah menggunakan sebuah sepeda perempuan berwarna pink, dan merelakan sepedaku untuk di bawa Salis. Di sepanjang perjalanan banyak hal yang kami ceritakan, mulai dari aku yang terlihat lebih feminin mengenakan sepeda perempuan itu. Salis yang bercerita kegalauan usaha freelance yang dilakukannya dan Siro yang ingin pindah kos. Banyak hal yang kami perbincangkan selama perjalanan, sayangnya ingatanku sangat terbatas. Jadi hanya itu yang bisa ku ingat di sepanjang jalan berangkat.
Waktu sampai di mulut car free day aku hanya ingin melihat-lihat. Dan seleraku ternyata tertuju pada cimol. Akhirnya kami memutuskan untuk masuk lebih dalam dan menjelajah bagian kuliner. Mungkin aku sedikit kangen dengan rasa cimol. Makanan yang berasal dari kanji yang di goreng plus bumbu balado kejunya.
Karena penuh sesak pengunjung kami pun bersepakat memarkirkan sepeda di depan pintu gerbang taman selamet. Cukup dengan membayar 6000 untuk 3 sepeda yang terparkir. “Padahal sepeda ontel kenapa parkirnya sama kayak sepeda motor”. Pikirku ketikan juru parkir menarik uang parkir pada kami.
Cuaca saat itu cukup panas karena jam tak lagi menunjukkan pukul 6 pagi melainkan pukul 9 pagi. Matahari tak setinggi tombak lagi. Tak ayal rasa haus mulai menjalar dan memberhentikan kami di sebuah kedai es kelapa muda (es degan).  Tapi cimol tak ada waktu itu, tapi tak apa di sebelah stand penjual kelapa muda itu terdapat penjual kue kering yang bertuliskan Rp. 2000. Aku mengambil sebungkus kue bawang dan membayarnya dengan uang Rp. 2000 yang ada di tasku.
Akupun menghampiri Salis dan Siro yang sudah menunggu di stand es kelapa muda. Sembari menghabiskan es yang telah tersaji di depan kami kami mulai berceloteh ria. Celotehan celotehan terus saja mengalir, entah itu penting atau hanya candaan belaka. Hingga 2 gelas es degan tandas, kami masih saja mengobrol asik di kedai tersebut. Sampai ada seorang pengunjung yang sepertinya menunggu kami untuk pindah. Karena merasa tak enak akhirnya kamipun beranjak meninggalkan kedai sambil berucap terima kasih.
Tak disangka di perjalan pulang, ada seorang pengemis yang amat miris. Kakinya sepertinya terkena luka yang cukup parah. Terlihat banyak luka yang menganga dan berwarna merah di sekujur betisnya. “Mungkin dia lumpuh atau terkena diabetes” pikirku. Tiba-tiba aku menanyakan suatu hal pada Salis “Apa yang kamu fikirkan tentang pengemis itu ?” tanyaku. “Sebenernya aku pengen nolong cuma, apa yang bisa ku tolong. Itu di luar batas kemampuanku.” Ujarnya . “Lalu yang bisa dilakukan oleh seorang jurnalis apa?”, “Hanya menulis tapi tak melakukan apapun” kejarku pada jawabnnya. “Jurnalis hanya mewartakan, karena dia gak punya kuasa untuk merubahnya. Tapi aku pengen menolong hanya aku gak mampu. Uangku juga pas pasan” ujarnya lagi menegaskan. Aku terdiam dengan jawabannya. Sembari berjalan aku sedikit menelaah. “Mungkin ada benarnya juga” batinkun. 
“Pernah ke taman Slamet”  tiba-tiba ia membuyarkan lamunanku, dengan cekatan aku menjawab “belum, ayo ayo kesana”. Kamipun tiba di depan pintu gerbang bercat putih dan hitam, dari kejauhan tertulis Taman Slamet. Sayang saat itu pintu gerbang masih tertutup. Dan sepertinya akan dibuka lagi ketika pasar minggu telah usai. Akhirnya kami masuk melalui celah kecil berukuran ¼ tubuh kami.
“Kenapa namanya taman slamet “ tiba-tiba salis mengajukan pertanyaan. “Biar selamet kali” jawabku asal. “Bukan, mungkin gara-gara taman slamet ini berdirinya di depan rumah sakit selamet” ujarnya. “Kenapa bertanya jika sudah tau jawabannya” batinku.
Kami terus saja berjalan melewati kumpulan bunga yang tertanam di pinggir-pinggir jalan setapak. Dan berhenti di sebuah altar dengan penutup jaring-jaring yang mirip dengan tisu berukuran raksasa. Saat itu aku berujar. “Lpjannya belum selesai gimana kalau kita bantu”. “Kita itu siapa, PSDM atau kita yang sudah tua” ujar salis. “Emm entah, tapi kalau gak di tangani nanti jadi gak tertib-tertib administrasinya” ujarku lagi. “Kalau aku boleh egois itu bukan tugas angkatanku lagi nik, tapi angkatanmu. Angkatanmu yang harusnya membimbing. Aku, Icil, Uswah, Mutia udah berapa tahun di UKM. Dan harusnya kami bukan di bagian vital lagi. Bagian vitalnya harusnya kalian.” Panjang lebar Salis menjelaskan ucapannya padaku. Aku hanya terdiam waktu itu. “Aku butuh kegiatan lain nik. Aku mau kerja.” Ujar salis dengan pandangan lurus ke depan tapi tatap matanya seperti memikirkan hal yang jauh.
“Kemarin bapak udah nanyain udah berapa persen skripsinya. Aku sungkan jawabnya, paling enggak mulai semester depan aku udah gak minta uang lagi nik. Makanya aku butuh kerja.” Ujar Salis lagi menambahkan.
Tak ada jawaban dalam kepalaku, aku hanya diam dan memikirkan bagaimana caranya. Sekelebat mataku aku melihat seorang penjual es puter. “Ehh ayahmu kayak gitu sir, jualannya es” ujarku menoleh ke sebuah gerobak es yang terparkir di pinggir taman lengkap dengan gelas-gelas yang tersusun bagian depan. “Iya mbak Anik, cuma kalau bapakku jualannya udah gak di kayuh tapi pakek sepeda motor jadi gak capek dan tinggal duduk aja” Jelas Siro padaku. 
“Kayaknya kita tiga orang yang butuh penghasilan ya” ujar Salis. “Eehh..., kan siro enggak. Dia kan masih dikirim sama orangtuanya” jawabku. “Ehh, sejak ulang tahunku kemarin udah gak dikirim mbak anik. Tapi kalau SPP sama kos masih di biayai. Tapi kalau buat jajan enggak” jelas Siro. “Ehh kok gitu” jawabku kaget mendengar pernyataan siro.  “Biar mandiri katanya, aku aja bingung mau makan” Siro menjawab sambil menunduk. “Ah, nyatai tak pinjemi uang dulu a, ntar kalau udah ada uang balikin lagi” jawabku dengan nada enteng “Gak usah mbak, nanti utangku tambah banyak, ehh tapi gak apa deng”.
“Wahhh sepertinya kita bertiga bernasib sama ya ehehehe”. Dengan cengengesan aku masih bisa menjawab dengan enteng.
“Emm gimana kalau kita bikin lowongan pekerjaan untuk diri kita sendiri, kamu mau ngelesi ?. Aku bikin brosur kamu yang nyebarnya.” Ujarku pada Siro. “buat kelas berapa mbak” tanya siro “SD aja, pusing nanti kalau smp heheheh.” Jawabku sambil cengegesan lagi. “Iya boleh mbak” ucap siro. “Emm, oke satu masalah teratasi. Kamu nyari kerja di mana mas salis.” Tanyaku pada Salis yang sedari tadi mendengarkan pembicaraanku dengan siro. “Aku ngelamar di Majesti dan Mestro” jawabnya  “Udah  ? “ tanyaku lagi mencerca “Belum tinggal naruh lamarannya aja” jawabnya “Ooh alah iya” ujarku meng iyakan jawaban pemberian salis.
“Ohh iya gimana patriotik mu sir “ tanyaku kembali pada siro. “emm gak tau mbak...”, “aku seneng udah nulis 2 Q-Post semester ini” ujar siro menambahkan. “Lah yang lain gimana?” “Gimana kalau aku punya usul buat ngebantu Q-Post, kita breakdown (diperinci) satu tulisan kemudian di bahas bareng aja. Mana data yang kurang, kalimat yang gak padu. Kan abis ini punya anak magang. Hehehe “ ujarku mengusulkan. “Jangan banyak-banyak 3 orang aja cukup. Pusing nanti hehehe...” ujarku menambahkan, sambil makan kue bawang yang tadi ku beli pasar minggu.
“Menulis itu bukan soal sulit atau tidak, hanya terbiasa atau tidak kita merangkai kata demi kata. Menyusunnya dalam sebuah kalimat dan membentuk paragraf baru kemudian membingkainya sesuai dengan angel yang kita inginkan.”  [kein]

Comments

Popular posts from this blog

Memasukkan Gambar Pada Eclipse

Pengalaman KRS an yang pertama

Cara Skinning Bone Manual Dengan Blender