KEPUTUSAN DIAMBIL BERSAMA TAPI RESIKO DI TANGGUNG SENDIRI.
Beberapa waktu lalu saya mendengar kabar yang cukup kurang sedap di dengar, salah satu teman saya yang baru 2 tahun menikah resmi bercerai. Pernikahan yang di bangun dengan tujuan saling membahagian telah kandas di pertahankan. Dia bercerita sedang mencari pekerjaan untuk dirinya dan anak yang baru berusia 1 tahun mungkin. Saya menawarinya untuk mencoba mengajar, tapi dia menolak karena dia butuh kepastian pendapatan sedangkan menurutnya mengajar tidak cukup menjanjikan.
Memaknai kejadian tadi, saya punya banyak sekali pertanyaan. Tentang bagaiamana
orang tua memandang perceraian anaknya? Bagaimana orang tua bersikap terhadap
masalah? Bagaimana saya harus merespon? Bagaimana perasaannya ? dan tentu
banyak laiinya. Tapi sebagai teman baik tentu saya tidak menanyakan pertanyaan
semacam itu. Saya hanya bilang kalau dia butuh teman ngopi call aja, saya cuma bisa
menemani.
Melihat itu saya jadi berfikit ketika perempuan tidak punya pijakan untuk
menghasilkan pendapatan akan sangat sulit ketika ditinggalkan. Perempuan kadang
mengorbankan karirnya untuk keluarga, kemudian ketika terjadi hal hal yang
diluar kendali maka akan sangat membebani. Tapi yang paling jelas kita tetap
sendirian menghadapi masalahnya.
Saya bercerita pada orang tua, tapi sekali lagi mereka memaknai dengan
hal yang berbeda dengan apa yang saya maknai. Tentang bagaimana saya yang
notabennya perempuan takut akan kehilangan karir ketika menikah. Dan kemudian
di salahkan ketika saya memilih menunda menikah karena merasa belum siap.
Tapi begitulah, saya hidup di masyarakat komunal. Keputusan diambil
bersama tapi resiko di tanggung sendiri.
* pagi hari dengan nasi kunin di
atas meja
Comments
Post a Comment