Arok Dedes
Akhir-akhir ini saya membaca roman berjudul
Arok Dedes yang sudah 4 bulan lalu saya beli. Saya tidak biasa menulis hasil bacaan
saya seperti ini. Tapi entah karena memang penyajian cerita yang cukup epic atau
saya sedang menganggur, saya piker tak apa meluangkan waktu sejenak menulis hal
menarik tentang buku ini.
Arok Dedes menjadi tokoh utama dalam roman
ini. Mungkin sedikit banyak kalian pernah membaca cerita mereka. Kalau tidak
salah itu pelajaran sejarah ketika SD. Sejarah yang menceritakan tentang
kecantikan Ken Dedes dan kekuatan Ken Arok serta kerajaan mereka yang bernama Singasari.
Namun dalam roman ini Prammoedya menuliskannya dengan gaya berbeda dari sejarah
buku SD yang saya pelajari dulu. Roman lebih dari 500 halaman ini kental dengan
pembahasan bagaimana kekuasaan berkuasa, derajat manusia dan kasta yang menjadi
tolak ukur seberapa berharganya nilai manusia. Menceritakan bagaimana tokoh
seorang budak tidaklah punya hak apapun termasuk hak atas dirinya. Karena hak
nya telah diatur oleh kekuasaan. Budak bernama Oti misalnya, untuk membiarkan
tubuhnya tidak di setubuhi oleh para kesatriapun ia tidak bisa. Sedangkan
Rimang sang mantan selir petinggi Tumampel terbuang begitu saja menjadi budak setelah
tidak dibutuhkan lagi.
Berbicara tetang kasta kita dulu mengenal
banyak sekali kasta dari sudra, satria hingga brahmana. Kasta sudra diberikan
pada rakyat biasa atau para petani miskin, satria diberikan pada prajurit,
bangsawan serta raja, sedangkan brahmana yaitu golongan pendeta. Jika kita
terlahir dari seorang sudra mungkin sampai mati kita akan tetap menjadi sudra. Tapi
dalam cerita ini Ken Arok di gambarkan sebagai seorang keturunan dengan nasib
yang berbeda. Dengan tingkat kecerdikannya dan berbagai sokongan dari berbagai kaum
ia berhasil melampaui petinggi Tumampel.
Mengamini pada kisah tersebut bagi saya
kasta atau kelas sosial kita memang ditentukan sejak kita lahir. Kasta itu seperti
sebuah tanda lahir, bagi saya akan sangat sulit dihilangkan atau bahkan tidak bisa hilang. Tapi dengan bersekongkol
dengan pengetahuan sepertinya kasta bisa di rubah layaknya apa yang dilakukan
Arok.
Sebagai penutup ada kalimat yang saya
sukai dari buku ini, tentang bagaimana menjadi manusia
“Yang menjadikan baik tidaknya seseorang
bukan bagaimana menyembah para dewa tapi dharma pada sesamanya.” Kalimat yang
cukup epic mengingat kita bermajemuk dan beragam bukan ?
Comments
Post a Comment