BARTER ILMU





Tepat pukul 18.00 sore, rasanya hari masih sore untuk pulang.  Perjalanan pulang melewati sederetan area pertokoan dan depot sederhana di pinggiran jalan menuju kos. Hingga tiba di sebuah perempatan sempit gang masjid. Aku berbelok ke kiri, kurang lebih 50 meter dari perempatan sebelumnya, disitulah kosku berada.

Dua orang anak kecil tengah duduk di atas sepeda . Aku mengenal mereka ,anak tentangga di samping rumah yang aku tinggali. Cindy dan Tasya itulah namanya. Saat itu mereka sedang asik mengobrol. Entah apa yang mereka bicarakan sepertinya terlihar asik. Dari jauh terdengar tawa cekikikan mereka. Di ikuti wajah antusias satu sama lain.

Di tengah cerita asik mereka aku berusaha menyapa “Enggak belajar? Ngak punya pr hari ini?” tanyaku pada mereka. “Ada kak, tapi gak bisa ngerjain” ujar Cindy menoleh ke arahku. “Ya udah, ayo belajar sama kakak nanti kita kerjakan bareng bareng gimana?” Tawarku kepada mereka. Mereka saling berpandangan, mata mereka bertemu satu sama lain seolah apa yang difikirkan mereka sama. “Bayar gak kak ?” tanya Tasya padaku.

Pertanyaan itu sontak membuatku terdiam. Sedikit berfikir kalimat apa yang harus ku ucapkan untuk menjadi jawaban pertanyaan Tasya. Takut membuat mereka menunggu jawabanku cepat cepat aku merespon mereka “Enggak ayo kalau mau belajar kakak tunggu di dalam kos ya ” ujarku sambil membuka kunci pintu yang tadinya kunci ku gengang di tangan.

Merekapun beranjanjak dari sepedah motor dan masuk rumah, mengambil tugas rumah masing-masing. Tasya seorang anak kelas 4 sekolah dasar sedangkan Cindy 2 tahun lebih tua dari tasya.  Bagaimana seorang anak sampai berfikir untuk belajar harus membayar?.

Masih segar di ingatanku ketika di sekolah dasar dulu ada seorang guru yang rela berjuang demi melihat anak-anak sekolah. Guru itu setiap pagi selalu menjemputnya karena orang tua si anak adalah petani dan tak terlalu suka anaknya sekolah. Padahal guru itu tak pernah di bayar sepespun selain tugas formal di sekolah.

Aku masuk rumah dan duduk di sebuah kursi panjang di area ruang tamu. Mereka  dating dengan membawa tugas rumah mereka. Aku kembali bertanya “Apa prnya?” “Matematika kak” ujar cindy sambil mengeluarkan buku bersampul kuning dari dalam tasnya. Bukupun terbuka aku berusaha menjelaskan tentang tugas matematika mereka agar mereka bisa melanjutkan sendiri.

Kembali aku memandang Tasya yang tengah asik membaca buku cerita yang ku berikan waktu itu. Aku berfikir apa alasan Tasya bertanya membayar atau tidak. Apa ada tulisan di kepalaku “jika ingin belajar harus membayar?”  “ah kurasa tidak “ ujarku dalam hati.

Anak adalah duplikat dari orang dewasa dan lingkungannya. Tidak mungkin mereka berfikiran demikian jika tak ada yang mereka tiru. Pastilah ada yang salah dari kami orang dewasa yang telah mereka contoh. Menilai segala sesuatu dengan sudut pandang uang. Atau mereka terlalu sering mendengar dalam sinetron ftv “tidak ada yang gratis di dunia ini” Anak anak salah satu bagian dari masyarakat yang selalu mencotoh tindakan orang dewasa. Melalui pendidikan yang ia dapatkan, filem yang ia tonton, lingkungan ia dibesarkan.

Melihat fenomena itu kembali aku menemui pertanyaan. Apakah jika ingin pintar itu harus dengan uang?. Seperti pertanyaan Tasya “Mbayar gak kak “. Bahkan seorang anak SD untuk mengantongi ilmu ia hrus bertanya berapa banyak uang yang harus ia tukar dengan ilmu yang ia dapatkan. Jika benar, seorang anak akan sial jika ia terlahir dari keluarga yang tak mampu membeli ayam. Dan seorang akan sangat beruntung jika ia terlahir dalam rumawah mewah serta berkecukupan. 

Pendidikan merupakan lapisan yang membentuk manusia. Jika pendidikan di ibaratkan dengan uang apa bedaya pendidikan dengan bahan pasar yang di perjual belikan. Dan dilakukan tawar menawar untuk membeli pendidikan.

Dimana letak tri darma perguruan tinggi dalam hal pendidikan. Jika untuk mengabdikan ilmu harus di upah dengan uang. Sistem kapitalis ini dalam pendidikan akan terus berlangsung, bertentangan dalam hal fungsi pendidikan.

David Popenoe berpendapat, ada empat macam fungsi pendidikan Transmisi (pemindahan) kebudayaan, memilih dan mengajarkan peranan sosial, menjamin integrasi sosial, Sekolah mengajarkan corak kepribadian, sumber inovasi social.

Di hari Sumpah-nya Pemuda yang menginjak tahun ke-87 pada hari ini,: "Mari kita tanyakan pada hati kita, apa yang sudah kita sumbangkan untuk pendidikan adik adik kita?.


Comments

Popular posts from this blog

Memasukkan Gambar Pada Eclipse

Pengalaman KRS an yang pertama

Cara Skinning Bone Manual Dengan Blender