Ruang Publik
Ruang publik yang bahasa kerennya
public space menjadi tema diskusi kamis 20 Mei 2015. Tapi judul dalam tor yang saya
baca “Reformasi dan Ruang Publik”. Diskusi kali ini diisi oleh salah seoarang
kawan saya Latifatun Nasihah atau yang lebih akrabnya IP. Sebagai kata pembuka
yang di ucapkannya ketika memasuki ruang Unit Aktifitas Pers Mahasiswa UAPM
INOVASI “Aku lo capek rek abis beli lemari, belum belajar juga”. Ya setidaknya
kata-kata itu yang paling saya ingat dari diskusi kamis minggu ini.
Dikatakan oleh IP “kalau gak ada
ruang publik gak bakal ada reformasi”. Teori ruang publik sendiri berasal dari
seorang tokoh Jerman Jürgen Habermas.
Habermas mengungkapkan ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam
proses berdemokrasi. Dengan adanya ruang publik proses dialektika terbentuk. Menurut
kamus besar bahasa indonesia dialektikan diartikan sebagai hal berbahasa dan
bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki sesuatu masalah.
Mengapa dikatakan dengan adanya
ruang publik maka proses dialektika terbentuk. Hal itu terjadi karena dalam
dialektika terdapat proses dialog dimana dalam proses terdapat pertukaran rasio.
Dalam ruang publik sendiri terdapat proses yang merupakan ruang demokratis atau
wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan
opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka.
Di era reformasi sekarang ini
ruang publik sangatlah terbuka lebar. Berbagai diskusi digelar baik tentang
seni, budaya, sains, agama pengetahuan bahkan tentang pemerintahan. Berbagai media
telah berlomba lomba menyiarkan berbagai diskusi publik tersebut. Namun hal itu
berkebalikan dengan peristiwa pembubaran paksa pemutaran filem “Samin vs Semen”
yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Dialektika Inelektual
Adminsitrasi Negara Sekretaris (LPM DIANNS) Universitas Brawijaya. Acara tersebut
dihentikan paksa oleh Gabungan Satuan Pengamanan (SATPAM) dengan alasan yang
tidak jelas. Lalu apa bedanya antara reformasi dan orde baru jika masih
terdapat pelarang-pelarangan dalam melakukan dialektika. Pada masa orde baru ruang
publik telah ada namun terdapat penyekatan dalam ruang-ruang publik. Penyekatan
berupa dilarangnya berbagai dialektika yang mengkritik rezim kala itu.
Imam Abu Hanifah selaku PU
inovasi periode 2015-2016 eh tapi gak tahu se siapa tahu tahun tahun depan
diangkat lagi gara gara do’a mbak bendahara. Laki laki cungkring berkulit manis
itu mengatakan “Hanya secara teknis saja perubahan yang terjadi pada orde baru
dan reformasi, dalam berdialektika kita masih dibatasi ”. Dia mencontohkan yang
terjadi pada proses dialektika merumuskan program kerja (proker) SEMA Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Dimana tidak tercapainya dialektika
disana karena tidak semua pelaku proker ada dalam ruang publik tersebut.
Lalu seperti apa idealnya ruang publik
dalam konsep Habermas? Dan juga apa yang ditawarkan dari berbagai konsep ruang publik
tersebut ?
By Aniek
http://id.wikipedia.org/wiki/J%C3%BCrgen_Habermas
Comments
Post a Comment