Filsafat Menunggu Khas Timur
Sebuah surat yang dikirimkan oleh
Kahlil Gibran pada seorang kawan tentang Filsafat Menunggu Khas Timur. Dalam
surat itu terlulis “Saudaraku, seluruh bahan untuk kumpulan tulisan Ar-Rabitah
sudah siap, tapi hanya dalam kata-kata. Sebab, saat aku meminta satu naskah dari salah
seorang saudara kita, aku hanya menerima jawaban : tunggu dua hari lagi, tunggu sampai akhir minggu ini
atau tunggu sampai minggu depan.” “Filsafat menunggu yang merupakan budaya asli
bangsa timur itu ternyata hampir mencekikku.“ Keluh Gibran dalam suratnya .
Budaya sendiri merupakan cara
hidup yang berkembang dan menjadi kebiasaan. Menunggu menjadi salah satu budaya
yang berkembang di Indonesia. Menunggu
disini diartikan menunggu waktu yang tepat untuk memulai pekerjaan atau menunda
pekerjaan. Entah itu karena kita berada
pada kategori negara timur yang bertoleransi tinggi atau alasan lain. pemberian
toleransi pada penundaan ini terus saja berkembang padahal kita tahu apa akibat
dari perilaku. Pekerjaan tak selesai sesuai dengan rencana, mengecewakan orang
lain, dan banyak hal lain.
Ketika kita melakukan penundaan pekerjaan
cenderung kita akan merasa lebih berat untuk memulainya kembali. Seperti hukum
newton I dikatakan setiap benda akan mempertahankan keadaan diam atau bergerak
lurus beraturan kecuali ada gaya bekerja mengubahnya.
Penundaan pekerjaan memang
mempunyai beberapa sebab, seperti ingin hasil yang sempurna. Siapa yang tidak
ingin sebuah hasil pekerjaan yang sempurna?. Disamping itu kita juga harus
memperhitungkan apa yang harus kita korbankan untuk mendapatkan kesempurnaan
tersebut. Cenderung kita terlalu terfokus pada kesempurnaan hingga kita belum memulai
langkah satupun sebelum semuanya sempurna. Dan akhirnya membuat kita menunda
pekerjaan dengan alasan menunggu waktu yang tepat.
Kita tidak harus menjadi manusia
sempurna, berilah sedikit toleransi pada
diri kita untuk melakukan beberapa kesalahan. Setidaknya dengan toleransi
tersebut kita bisa menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Meskipun kesempurnaan tidak dapat diraih dengan toleransi yang telah kita berikan,
namun menganggurkan beberapa kewajiban kita pada orang lain. Dalam kutipan
sebuah artikel yang menyatakan “Pola Pikir membentuk
Kebiasaan. Kebiasaan membentuk Karakter. Karakter membentuk Nasib. Nasib
menguatkan Pola Pikir kembali.”
Comments
Post a Comment